News Analysis (Januari 2021) :
Masih Sangat Kuno : Teknologi Pengamanan Penumpang Pesawat Terbang (Edisi Revisi)
Lihat News Clip Sebelumnya : Edisi April 2019
News Clip :
1. Laporan Kecelakaan Boeing 737 Ethiopia (4/4/2019)
2. Boeing akan memangkas produksi 737 Max dimulai pada pertengahan April 2019
3. Aeroflot Rusia Terbakar : 41 Tewas (6/5/2019).
1. Laporan Kecelakaan Boeing 737 Ethiopia (4/4/2019)
2. Boeing akan memangkas produksi 737 Max dimulai pada pertengahan April 2019
3. Aeroflot Rusia Terbakar : 41 Tewas (6/5/2019).
4. Media Asing Ulas Sebab Kecelakaan Pesawat yang Sering Terjadi di Indonesia (12/01/2021)
5. Keluarga 3 Korban Sriwijaya Air Gugat Boeing di AS (29/01/2021)
6. Ini Penyebab Jatuhnya Sriwijaya Air Menurut Kuasa Hukum Keluarga Korban (28/01/2021)
Deskripsi :
1.ABCNews : Laporan Kecelakaan Boeing 737 Ethiopia, Oleh David Kerley, Jeffrey Cook, Morgan Winsor, 4 Apr 2019, 6:23 ET
Kerusakan yang terjadi pada saat lepas landas menyebabkan kecelakaan Boeing 737 Max 8. Kecelakaan ini adalah kecelakaan kedua dalam lima bulan terakhir. menurut laporan awal dari pejabat Ethiopia.
Pilot dan co pilot Ethiopian Airlines 737 Max, telah mengikuti prosedur resmi kendali pesawat yang direkomendasikan akan tetapi mereka gagal mendapatkan kembali kendali pesawat. Beberapa detik kemudian pesawat hancur menabrak bumi. Demikian kesimpulan para penyelidik kecelakaan Ethiopian Airlines.
Ethiopian Airlines dengan Boeing 737 Max 8 nya jatuh Maret lalu dan menewaskan 157 orang di dalamnya.
" Pilot kami sudah mengikuti semua prosedur yang direkomendasikan tetapi tidak bisa mendapatkan kembali kendali atas penerbangan yang terkutuk itu, " kata para penyelidik Ethiopia kepada wartawan Kamis pagi (4/4/2019)
Menteri Transportasi Ethiopia Dagmawit Moges mengatakan temuan pendahuluan dari penyelidikan atas kecelakaan mematikan itu menunjukkan bahwa semua aspek legal sudah terpenuhi. Pesawat memiliki sertifikat kelaikan udara yang sah, pilot berlisensi dan memenuhi syarat untuk melakukan penerbangan, dan proses lepas landas pesawat tampaknya "sangat normal."
Akan tetapi saat jet mulai menukik aneh, pilot "berulang kali" melakukan semua prosedur darurat yang disediakan oleh Boeing. Tetapi mereka "tidak dapat mengendalikan pesawat," Moges mengatakan kepada wartawan pada konferensi pers di ibukota Ethiopia, Addis Ababa.
Ethiopian Airlines Penerbangan 302 jatuh dalam cuaca cerah di pagi hari pada 10 Maret, enam menit setelah lepas landas dari Bandara Internasional Addis Ababa Bole. Jet buatan Amerika, yang membawa 149 penumpang dan 8 awak, itu terbang menuju Nairobi, Kenya.
Berdasarkan laporan awal ini, penyelidik keselamatan penerbangan Ethiopia merekomendasikan Boeing agar segera meninjau kembali sistem kontrol penerbangan pesawat model 737 Max 8 yang baru. Selanjutnya Menteri menyatakan bahwa menurut dokumen laporan, Otoritas penerbangan telah memverifikasi bahwa proses teknis kendali terbang telah ditangani secara memadai oleh Boeing sebelum mengijinkan melanjutkan operasi jet ini.
Temuan ini membantah laporan kerusakan akibat adanya benda asing, yang disebut sebagai FOD (foreign object damage) oleh peneliti Ethiopia.
"Kami tidak menemukan informasi mengenai FOD di pesawat," Amdye Andualem, ketua Biro Investigasi Kecelakaan Ethiopia mengatakan kepada wartawan pada konferensi pers. "Data yang disediakan oleh FDR (flight data recorder / perekam data penerbangan) tidak menunjukkan bahwa ada FOD."
CEO Ethiopian Airlines, Tewolde GebreMariam, mengatakan temuan dalam laporan itu "jelas" menunjukkan bahwa pilot mengikuti instruksi yang direkomendasikan oleh Boeing dan disetujui oleh Administrasi Penerbangan Federal (FAA) Amerika Serikat.
"Kami semua di Ethiopian Airlines masih mengalami duka mendalam atas kehilangan orang-orang yang kami cintai dan kami ingin menyampaikan simpati dan belasungkawa mendalam kami kepada keluarga, kerabat dan teman-teman para korban," kata GebreMariam dalam pernyataan Kamis pagi. . "Sementara itu, kami sangat bangga dengan kepatuhan pilot kami untuk mengikuti prosedur darurat dan kinerja profesional tingkat tinggi dalam situasi yang sangat sulit."
Dua sumber penerbangan yang akrab dengan penyelidikan itu mengatakan kepada jurnalis, bahwa penerbangan Ethiopian Airlines mengalami kerusakan sensor serangan saat lepas landas dari burung atau benda asing. Serangan itu memicu data yang salah dan mengaktifkan sistem anti-kios - yang disebut MCAS - mengirim pitch pesawat kembali ke ground dan akhirnya menabrak tanah.
Menurut sumber tersebut, pilot tidak mencoba menarik hidung pesawat secara elektronik, sebelum mengikuti prosedur darurat Boeing untuk melepaskan daya ke stabilizer horizontal di bagian belakang pesawat.
Salah satu sumber mengatakan bahwa mereka secara manual berusaha membawa hidung pesawat kembali dengan menggunakan roda trim. Segera setelah itu, pilot memulihkan daya ke stabilizer horisontal.
"Dengan pulihnya daya, MCAS diaktifkan kembali, " kata sumber itu, " akan tetapi pilot gagal mendapatkan kembali kendali sebelum kecelakaan."
Namun, pernyataan sumbet anonim ini dibantah oleh temuan awal dari penyelidik Ethiopia yang membantah bahwa ada kerusakan benda asing, atau FOD, pada jet tersebut.
"Kami tidak menemukan informasi mengenai FOD di pesawat," Amdye Andualem, ketua Biro Investigasi Kecelakaan Ethiopia mengatakan kepada wartawan pada konferensi pers hari Kamis. "Data yang disediakan oleh FDR (perekam data penerbangan) tidak menunjukkan bahwa ada FOD."
Peneliti Perancis dan Amerika membantu para penyelidik Ethiopia dari pusat sistem keamanan anti-kios otomatis pada Boeing 737 Max 8. Mereka mencoba mencari kemungkinan kaitannya antara masalah dalam Kecelakaan penerbangan Ethiopian Airlines dengan pesawat Lion Air di Indonesia akhir tahun 2018 yang lalu.
Dalam kedua kecelakaan itu, pesawat Boeing 737 Max 8 terlihat berupaya mempertahankan jalur penerbangan yang stabil. Pesawat berulang kali turun dan naik ketinggian sebelum akhirnya jatuh dan hancur. Dalam dua insiden, sistem keamanan anti-kios baru pada Max yang mengontrol trim pesawat - MCAS - terlihat diaktifkan, menurut sumber anonim pada jurnalis.
Pilot maskapai komersial dilatih untuk melepaskan sistem jika terjadi anomali di runaway, ketika pesawat membuat gerakan pitch yang tidak terduga. Tidak diketahui apa yang membuat pilot penerbangan Lion Air tidak melepaskan sistem dan membiarkan pesawat. Akan tetapi pihak Lion Air di Indonesia membela pelatihan para pilotnya.
Setelah jatuhnya Ethiopian Airlines Penerbangan 302, maskapai penerbangan dan otoritas penerbangan di seluruh dunia melarang menerbangkan Boeing 737 Max 8. Amerika Serikat adalah yang terakhir melakukannya pada 13 Maret yang lalu, setelah FAA menyimpulkan data data yang dikumpulkan dari satelit.
Pekan lalu, penjabat administrator FAA Daniel Elwell pergi ke Capitol Hill untuk menyampaikan tanggapan pemerintah terhadap dua kecelakaan itu. Elwell mengatakan kepada para senator pada hari Rabu (3/4) bahwa FAA menjadi salah satu regulator penerbangan terakhir di dunia yang melarang terbang
Boeing 737 Max 8. Amerika Serikat dan Kanada adalah yang pertama membuat keputusan berdasarkan data yang kuat dari pesawat, bukan sekedar dugaan saja.
Boeing mengatakan sedang mengerjakan pembaruan aplikasi (peranti lunak) untuk sistem keselamatan otomatis dan diharapkan akan disetujui oleh FAA dan ditawarkan kepada maskapai dalam beberapa minggu ke depan.
Pabrik pesawat yang berbasis di Chicago ini telah memasok lebih dari 370 jet Boeing 737 Max 8 ke 47 maskapai sejak model tersebut dilaunching pada Mei 2017. Sebanyak 72 pesawat di antaranya saat ini terbang di Amerika Serikat.
"Kami mendesak agar jangan berspekulasi dan menarik kesimpulan pada temuan sebelum rilis data penerbangan dan laporan pendahuluan," kata Boeing dalam sebuah pernyataan.
2. CNBC.com: Boeing akan memangkas produksi 737 Max dimulai pada pertengahan April 2019, Oleh :Phil LeBeau | @Lebeaucarnewsi, Lindsey Wasson | Reuters
Boeing memangkas produksi jet 737 Max-nya sebesar 20 persen dari 52 sebulan menjadi 42 sebulan.
CEO Dennis Muilenburg mengatakan perusahaan mengalihkan sumber daya untuk memperbaiki perangkat lunak yang banyak dicurigai berkontribusi pada dua kecelakaan fatal sejak Oktober 2018. Saham Boeing mengalami kejatuhan di pasar saham.(Pabrik Boeing di Renton, Washington, 27 Maret 2019.)
Boeing memangkas produksi 737 Max jet bersamaan dengan upaya cepat untuk menyelesaikan perbaikan yang akan membuat pesawat terbang terbang lagi.
Produksi bulanan pesawat Boeing, yang terlibat dalam dua kecelakaan sejak Oktober, turun 20 persen dari level saat ini yaitu 52 per bulan menjadi 42 per bulan, kata perusahaan itu Jumat.
"Kami sedang menyesuaikan sistem produksi 737 sementara, mengakomodasi jeda dalam pengiriman MAX, dan memungkinkan kami memprioritaskan sumber daya tambahan untuk fokus pada sertifikasi perangkat lunak dan mengembalikan MAX ke penerbangan," kata Ketua dan CEO Boeing Dennis Muilenburg dalam sebuah pernyataan.
Muilenburg mengatakan raksasa kedirgantaraan itu sudah bekerja dengan para pemasok untuk, "meminimalkan gangguan operasional dan dampak finansial dari perubahan tingkat produksi."
Pemotongan produksi kemungkinan akan membebani saham Boeing yang telah bertahan relatif baik setelah awalnya turun lebih dari 10% pada pertengahan Maret setelah jatuhnya Ethiopian Airlines 737 Max 8. Itu adalah kecelakaan kedua dari 737 Max di enam bulan terakhir dan memicu negara-negara di seluruh dunia untuk mendaratkan pesawat atau melarang Boeing terbang di wilayah udara mereka.
FAA, setelah sempat menyebut pesawat itu "layak terbang," akhirnya memutuskan bergabung dengan seluruh dunia pada 13 Maret melarang terbang Boeing Max.
Pada saat itu, Boeing mengatakan tidak memiliki rencana untuk memangkas produksi dan banyak analis setuju dengan keputusan tersebut. Jose Caiado, analis maskapai di Credit Suisse, mengatakan pada pertengahan Maret bahwa ia berharap Boeing akan tetap mempertahankan jalur perakitan pada level saat ini sehingga tidak mengganggu rantai pasokan.
"Mereka hanya perlu membawa persediaan itu di neraca mereka sebentar lagi," katanya kepada CNBC.
Boeing mengatakan pihaknya berharap untuk memiliki perbaikan perangkat lunak untuk 737 Max dalam beberapa minggu mendatang yang akan diserahkan kepada FAA dan regulator internasional untuk persetujuan. Tinjauan mereka dan sertifikasi potensial dapat memakan waktu beberapa minggu lagi, bahkan berbulan-bulan, yang berarti 737 Ma akan di-grounded sampai dengan Juni.
Akan tetapi Boeing dengan cerdas memutuskan memproduksi lebih sedikit 737 dari pabriknya di Renton, Washington.
Secara terpisah, Muilenburg mengatakan dewan direksi Boeing telah membentuk komite untuk "meninjau kebijakan dan proses di seluruh perusahaan kami untuk desain dan pengembangan pesawat terbang yang kami bangun."
3. Aeroflot Rusia Terbakar : 41 Tewas (6/5/2019).
Setelah dihantam serangan petir hebat. Aeroflot yang terbakar dan mendarat 45 menit setelah insiden, membuat 41 penumpangnya tewas terbakar.
Media udara adalah unsur zat tumpuan dari teknologi penerbangan. Media air adalah zat tumpuan untuk jalan teknologi alat transportasi laut. Mungkin parasut lebih pantas dibicarakan dari pada jaket pelampung. Meskipun ide tersebut masih terbilang konyol, akan tetapi tetap konyol yang efektif.
Tapi teknologi sejati keselamatan penumpang pesawat pasti bukan itu. Perlu dilakukan kajian serius lebih lanjut untuk bisa menemukan teknologi yang tepat, lalu menguji nya dan menyerahkan ke seluruh otoritas penerbangan global agar menjadi sebuah standar baru teknologi untuk keselamatan penumpang pesawat terbang. Bukan teknik kuno yang berbasis jaket pelampung yang menggelikan.
1.ABCNews : Laporan Kecelakaan Boeing 737 Ethiopia, Oleh David Kerley, Jeffrey Cook, Morgan Winsor, 4 Apr 2019, 6:23 ET
Kerusakan yang terjadi pada saat lepas landas menyebabkan kecelakaan Boeing 737 Max 8. Kecelakaan ini adalah kecelakaan kedua dalam lima bulan terakhir. menurut laporan awal dari pejabat Ethiopia.
Pilot dan co pilot Ethiopian Airlines 737 Max, telah mengikuti prosedur resmi kendali pesawat yang direkomendasikan akan tetapi mereka gagal mendapatkan kembali kendali pesawat. Beberapa detik kemudian pesawat hancur menabrak bumi. Demikian kesimpulan para penyelidik kecelakaan Ethiopian Airlines.
Ethiopian Airlines dengan Boeing 737 Max 8 nya jatuh Maret lalu dan menewaskan 157 orang di dalamnya.
" Pilot kami sudah mengikuti semua prosedur yang direkomendasikan tetapi tidak bisa mendapatkan kembali kendali atas penerbangan yang terkutuk itu, " kata para penyelidik Ethiopia kepada wartawan Kamis pagi (4/4/2019)
Menteri Transportasi Ethiopia Dagmawit Moges mengatakan temuan pendahuluan dari penyelidikan atas kecelakaan mematikan itu menunjukkan bahwa semua aspek legal sudah terpenuhi. Pesawat memiliki sertifikat kelaikan udara yang sah, pilot berlisensi dan memenuhi syarat untuk melakukan penerbangan, dan proses lepas landas pesawat tampaknya "sangat normal."
Akan tetapi saat jet mulai menukik aneh, pilot "berulang kali" melakukan semua prosedur darurat yang disediakan oleh Boeing. Tetapi mereka "tidak dapat mengendalikan pesawat," Moges mengatakan kepada wartawan pada konferensi pers di ibukota Ethiopia, Addis Ababa.
Ethiopian Airlines Penerbangan 302 jatuh dalam cuaca cerah di pagi hari pada 10 Maret, enam menit setelah lepas landas dari Bandara Internasional Addis Ababa Bole. Jet buatan Amerika, yang membawa 149 penumpang dan 8 awak, itu terbang menuju Nairobi, Kenya.
Berdasarkan laporan awal ini, penyelidik keselamatan penerbangan Ethiopia merekomendasikan Boeing agar segera meninjau kembali sistem kontrol penerbangan pesawat model 737 Max 8 yang baru. Selanjutnya Menteri menyatakan bahwa menurut dokumen laporan, Otoritas penerbangan telah memverifikasi bahwa proses teknis kendali terbang telah ditangani secara memadai oleh Boeing sebelum mengijinkan melanjutkan operasi jet ini.
Temuan ini membantah laporan kerusakan akibat adanya benda asing, yang disebut sebagai FOD (foreign object damage) oleh peneliti Ethiopia.
"Kami tidak menemukan informasi mengenai FOD di pesawat," Amdye Andualem, ketua Biro Investigasi Kecelakaan Ethiopia mengatakan kepada wartawan pada konferensi pers. "Data yang disediakan oleh FDR (flight data recorder / perekam data penerbangan) tidak menunjukkan bahwa ada FOD."
CEO Ethiopian Airlines, Tewolde GebreMariam, mengatakan temuan dalam laporan itu "jelas" menunjukkan bahwa pilot mengikuti instruksi yang direkomendasikan oleh Boeing dan disetujui oleh Administrasi Penerbangan Federal (FAA) Amerika Serikat.
"Kami semua di Ethiopian Airlines masih mengalami duka mendalam atas kehilangan orang-orang yang kami cintai dan kami ingin menyampaikan simpati dan belasungkawa mendalam kami kepada keluarga, kerabat dan teman-teman para korban," kata GebreMariam dalam pernyataan Kamis pagi. . "Sementara itu, kami sangat bangga dengan kepatuhan pilot kami untuk mengikuti prosedur darurat dan kinerja profesional tingkat tinggi dalam situasi yang sangat sulit."
Dua sumber penerbangan yang akrab dengan penyelidikan itu mengatakan kepada jurnalis, bahwa penerbangan Ethiopian Airlines mengalami kerusakan sensor serangan saat lepas landas dari burung atau benda asing. Serangan itu memicu data yang salah dan mengaktifkan sistem anti-kios - yang disebut MCAS - mengirim pitch pesawat kembali ke ground dan akhirnya menabrak tanah.
Menurut sumber tersebut, pilot tidak mencoba menarik hidung pesawat secara elektronik, sebelum mengikuti prosedur darurat Boeing untuk melepaskan daya ke stabilizer horizontal di bagian belakang pesawat.
Salah satu sumber mengatakan bahwa mereka secara manual berusaha membawa hidung pesawat kembali dengan menggunakan roda trim. Segera setelah itu, pilot memulihkan daya ke stabilizer horisontal.
"Dengan pulihnya daya, MCAS diaktifkan kembali, " kata sumber itu, " akan tetapi pilot gagal mendapatkan kembali kendali sebelum kecelakaan."
Namun, pernyataan sumbet anonim ini dibantah oleh temuan awal dari penyelidik Ethiopia yang membantah bahwa ada kerusakan benda asing, atau FOD, pada jet tersebut.
"Kami tidak menemukan informasi mengenai FOD di pesawat," Amdye Andualem, ketua Biro Investigasi Kecelakaan Ethiopia mengatakan kepada wartawan pada konferensi pers hari Kamis. "Data yang disediakan oleh FDR (perekam data penerbangan) tidak menunjukkan bahwa ada FOD."
Peneliti Perancis dan Amerika membantu para penyelidik Ethiopia dari pusat sistem keamanan anti-kios otomatis pada Boeing 737 Max 8. Mereka mencoba mencari kemungkinan kaitannya antara masalah dalam Kecelakaan penerbangan Ethiopian Airlines dengan pesawat Lion Air di Indonesia akhir tahun 2018 yang lalu.
Dalam kedua kecelakaan itu, pesawat Boeing 737 Max 8 terlihat berupaya mempertahankan jalur penerbangan yang stabil. Pesawat berulang kali turun dan naik ketinggian sebelum akhirnya jatuh dan hancur. Dalam dua insiden, sistem keamanan anti-kios baru pada Max yang mengontrol trim pesawat - MCAS - terlihat diaktifkan, menurut sumber anonim pada jurnalis.
Pilot maskapai komersial dilatih untuk melepaskan sistem jika terjadi anomali di runaway, ketika pesawat membuat gerakan pitch yang tidak terduga. Tidak diketahui apa yang membuat pilot penerbangan Lion Air tidak melepaskan sistem dan membiarkan pesawat. Akan tetapi pihak Lion Air di Indonesia membela pelatihan para pilotnya.
Setelah jatuhnya Ethiopian Airlines Penerbangan 302, maskapai penerbangan dan otoritas penerbangan di seluruh dunia melarang menerbangkan Boeing 737 Max 8. Amerika Serikat adalah yang terakhir melakukannya pada 13 Maret yang lalu, setelah FAA menyimpulkan data data yang dikumpulkan dari satelit.
Pekan lalu, penjabat administrator FAA Daniel Elwell pergi ke Capitol Hill untuk menyampaikan tanggapan pemerintah terhadap dua kecelakaan itu. Elwell mengatakan kepada para senator pada hari Rabu (3/4) bahwa FAA menjadi salah satu regulator penerbangan terakhir di dunia yang melarang terbang
Boeing 737 Max 8. Amerika Serikat dan Kanada adalah yang pertama membuat keputusan berdasarkan data yang kuat dari pesawat, bukan sekedar dugaan saja.
Boeing mengatakan sedang mengerjakan pembaruan aplikasi (peranti lunak) untuk sistem keselamatan otomatis dan diharapkan akan disetujui oleh FAA dan ditawarkan kepada maskapai dalam beberapa minggu ke depan.
Pabrik pesawat yang berbasis di Chicago ini telah memasok lebih dari 370 jet Boeing 737 Max 8 ke 47 maskapai sejak model tersebut dilaunching pada Mei 2017. Sebanyak 72 pesawat di antaranya saat ini terbang di Amerika Serikat.
"Kami mendesak agar jangan berspekulasi dan menarik kesimpulan pada temuan sebelum rilis data penerbangan dan laporan pendahuluan," kata Boeing dalam sebuah pernyataan.
2. CNBC.com: Boeing akan memangkas produksi 737 Max dimulai pada pertengahan April 2019, Oleh :Phil LeBeau | @Lebeaucarnewsi, Lindsey Wasson | Reuters
Boeing memangkas produksi jet 737 Max-nya sebesar 20 persen dari 52 sebulan menjadi 42 sebulan.
CEO Dennis Muilenburg mengatakan perusahaan mengalihkan sumber daya untuk memperbaiki perangkat lunak yang banyak dicurigai berkontribusi pada dua kecelakaan fatal sejak Oktober 2018. Saham Boeing mengalami kejatuhan di pasar saham.(Pabrik Boeing di Renton, Washington, 27 Maret 2019.)
Boeing memangkas produksi 737 Max jet bersamaan dengan upaya cepat untuk menyelesaikan perbaikan yang akan membuat pesawat terbang terbang lagi.
Produksi bulanan pesawat Boeing, yang terlibat dalam dua kecelakaan sejak Oktober, turun 20 persen dari level saat ini yaitu 52 per bulan menjadi 42 per bulan, kata perusahaan itu Jumat.
"Kami sedang menyesuaikan sistem produksi 737 sementara, mengakomodasi jeda dalam pengiriman MAX, dan memungkinkan kami memprioritaskan sumber daya tambahan untuk fokus pada sertifikasi perangkat lunak dan mengembalikan MAX ke penerbangan," kata Ketua dan CEO Boeing Dennis Muilenburg dalam sebuah pernyataan.
Muilenburg mengatakan raksasa kedirgantaraan itu sudah bekerja dengan para pemasok untuk, "meminimalkan gangguan operasional dan dampak finansial dari perubahan tingkat produksi."
Pemotongan produksi kemungkinan akan membebani saham Boeing yang telah bertahan relatif baik setelah awalnya turun lebih dari 10% pada pertengahan Maret setelah jatuhnya Ethiopian Airlines 737 Max 8. Itu adalah kecelakaan kedua dari 737 Max di enam bulan terakhir dan memicu negara-negara di seluruh dunia untuk mendaratkan pesawat atau melarang Boeing terbang di wilayah udara mereka.
FAA, setelah sempat menyebut pesawat itu "layak terbang," akhirnya memutuskan bergabung dengan seluruh dunia pada 13 Maret melarang terbang Boeing Max.
Pada saat itu, Boeing mengatakan tidak memiliki rencana untuk memangkas produksi dan banyak analis setuju dengan keputusan tersebut. Jose Caiado, analis maskapai di Credit Suisse, mengatakan pada pertengahan Maret bahwa ia berharap Boeing akan tetap mempertahankan jalur perakitan pada level saat ini sehingga tidak mengganggu rantai pasokan.
"Mereka hanya perlu membawa persediaan itu di neraca mereka sebentar lagi," katanya kepada CNBC.
Boeing mengatakan pihaknya berharap untuk memiliki perbaikan perangkat lunak untuk 737 Max dalam beberapa minggu mendatang yang akan diserahkan kepada FAA dan regulator internasional untuk persetujuan. Tinjauan mereka dan sertifikasi potensial dapat memakan waktu beberapa minggu lagi, bahkan berbulan-bulan, yang berarti 737 Ma akan di-grounded sampai dengan Juni.
Akan tetapi Boeing dengan cerdas memutuskan memproduksi lebih sedikit 737 dari pabriknya di Renton, Washington.
Secara terpisah, Muilenburg mengatakan dewan direksi Boeing telah membentuk komite untuk "meninjau kebijakan dan proses di seluruh perusahaan kami untuk desain dan pengembangan pesawat terbang yang kami bangun."
3. Aeroflot Rusia Terbakar : 41 Tewas (6/5/2019).
Setelah dihantam serangan petir hebat. Aeroflot yang terbakar dan mendarat 45 menit setelah insiden, membuat 41 penumpangnya tewas terbakar.
4. Media Asing Ulas Sebab Kecelakaan Pesawat yang Sering Terjadi di Indonesia (Selasa, 12 Jan 2021 18:18 WIB)
https://travel.detik.com/travel-news/d-5331173/media-asing-ulas-sebab-kecelakaan-pesawat-yang-sering-terjadi-di-indonesia
Putu Intan
Jakarta - Jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ 182 menambah daftar panjang kecelakaan pesawat di Indonesia. Media asing pun menyoroti penyebab seringnya terjadi kecelakaan tersebut. Salah satu media yang mengemukakan analisanya adalah Bloomberg. Bloomberg menyebut Indonesia sebagai negara terburuk di Asia dalam hal perjalanan udara.
Pernyataan itu didasarkan data dari Aviation Safety Network yang menunjukkan kecelakaan pesawat di Indonesia mencapai 104 kasus dengan korban meninggal sebanyak 2.301 sejak 1945. Jumlah ini terbanyak di Asia dan menempati urutan ke-8 di dunia.
Dalam artikel berjudul Jet Crash Adds to Long List of Aviation Disasters in Indonesia, Bloomberg membedah dua faktor utama yang menjadi penyebab kecelakaan pesawat di Indonesia.
Faktor pertama adalah cuaca buruk. Di Indonesia kerap terjadi badai petir yang dapat membahayakan penerbangan.
"Indonesia adalah salah satu negara kepulauan terluas di dunia, dengan pulau-pulau berjajar sepanjang London hingga New York, Indonesia memiliki salah satu insiden badai petir dan sambaran petir tertinggi dibandingkan wilayah lainnya," tulis Bloomberg.
Media itu juga mencontohkan Kota Bogor yang pernah mengalami badai petir selama 322 hari dalam setahun pada 1988.
Kemudian, melihat kondisi geografis Indonesia yang penuh gunung berapi, ini juga dapat menyebabkan gumpalan abu ke udara yang dapat membahayakan penerbangan. Abu itu dapat tersedot masuk ke mesin pesawat dan merusaknya.
Traveler tentu masih ingat ketika Gunung Agung di Bali meletus, sejumlah penerbangan harus dialihkan bahkan dibatalkan.
"Pada 2019, bandara Bali membatalkan dan mengalihkan sejumlah penerbangan menyusul letusan Gunung Agung, yang memuntahkan abu di selatan pulau," tulisnya.
Selain itu faktor pemanasan global yang mengubah cuaca juga disoroti. Pesawat Sriwijaya Air SJ 182 juga diketahui sempat mengalami delay akibat cuaca buruk.
"Dengan pemanasan global, kejadian cuaca ekstrim menjadi lebih umum juga. Penerbangan Sriwijaya Air SJ 182 ditunda sekitar satu jam karena kondisi yang memprihatinkan," papar tulisan itu.
Faktor kedua yang juga menyebabkan kecelakaan adalah kegagalan komunikasi. Bloomberg berkaca pada kasus jatuhnya pesawat AirAsia pada Desember 2014. Kecelakaan itu terjadi karena pilot Indonesia dan co-pilot asal Prancis gagal menangani kendala di auto-pilot sehingga pesawat terjun ke laut.
Berbeda dengan Bloomberg, media Associated Press (AP) mencoba melihat kecelakaan pesawat di Indonesia menggunakan sudut pandang yang lebih luas. Mereka menyebut, hal ini disebabkan kombinasi faktor sosial, ekonomi, dan geografis.
"Industri ini memiliki sedikit regulasi atau pengawasan pada tahun-tahun awal booming penerbangan Indonesia, setelah ekonomi dibuka setelah jatuhnya Soeharto pada akhir 1990-an dan berakhirnya dekade kediktatoran," tulis media tersebut.
AP juga menyoroti menjamurnya fenomena maskapai berbiaya rendah di Indonesia. Pesawat memang menjadi moda transportasi penting di Indonesia, mengingat wilayah negara ini yang berupa kepulauan. Sayangnya, Indonesia masih memiliki kekurangan infrastruktur transportasi yang aman dan efisien.
Karena seringnya terjadi kecelakaan pesawat di Indonesia, Amerika Serikat pernah melarang maskapai Indonesia terbang ke sana dari tahun 2007-2016. Mereka menyebut maskapai Indonesia memiliki kekurangan dalam satu bidang atau lebih, seperti keahlian teknis, personel terlatih, prosedur pencatatan atau pemeriksaan.
Tak cuma AS, Uni Eropa juga pernah menutup pintu untuk maskapai Indonesia dengan alasan serupa mulai 2007 sampai dengan 2018.
Namun belakangan maskapai Indonesia sudah kembali mendapatkan kepercayaan dari negara asing. Ini karena dunia aviasi Indonesia dianggap mengalami kemajuan dalam hal regulasi, fasilitas, perawatan pesawat, dan pilot yang lebih terlatih.
Sayangnya, dengan kecelakaan yang menimpa pesawat Sriwijaya Air SJ 182 ini, masalah keamanan dan penegakan regulasi penerbangan Indonesia kembali diperbincangkan. Komisi V mengatakan akan segera memanggil Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi serta pihak-pihak terkait untuk mengulas soal regulasi terutama perawatan pesawat saat pandemi COVID-19 ini. (pin/ddn)
5. Keluarga 3 Korban Sriwijaya Air Gugat Boeing di AS (Jumat, 29 Jan 2021 06:12 WIB)
https://travel.detik.com/travel-news/d-5352635/keluarga-3-korban-sriwijaya-air-gugat-boeing-di-as
Dadan Kuswaraharja
Jakarta - Keluarga 3 korban Sriwijaya Air SJ 182 akhirnya menggugat produsen pesawat yang jatuh tersebut, Boeing Corporation di AS. Gugatan dilakukan pada 25 Januari lalu.
"Gugatan sudah diajukan ke Pengadilan Circuit Cook County, Illinois, kantor pusat Boeing," demikian keterangan dari firma hukum Wisner.
Firma hukum Wisner ini sebelumnya mewakili korban kecelakaan Lion Air JT 610 dan Ethioia Air ET 302 untuk menggugat Boeing. Wisner menyatakan telah mewakili keluarga korban kecelakaan udara Indonesia selama tiga dekade terakhir.
Beberapa di antaranya Garuda 152 dekat Medan pada 26 September 1997, Silk Air 185 dekat Palembang pada 19 Desember 1997, Garuda Air 421 di Sungai Solo pada 16 Januari 2002, Garuda Air 200 7 Maret 2007 di Yogyakarta, Lion Air JT 538 di Solo pada 2004, hingga Air Asia 8501 pada 28 Desember 2014 di Laut Jawa.
Penyebab Jatuhnya Pesawat Sriwijaya Air SJ 182
Dalam gugatan tersebut, pihak penggugat menyatakan sebagian pesawat Boeing 737-500 rusak dan sangat berbahaya karena autothrottle mengalami kegagalan fungsi. Itu, sambungnya, mengakibatkan perbedaan daya yang diberikan ke mesin dan menyebabkan hilangnya kendali.
Selain itu juga membuat mesin-katup pengecekan udara tahap kelima mengalami korosi dan bocor, menyebabkannya macet di posisi terbuka selama penerbangan.
"Ini telah mengakibatkan kompresor macet yang tidak terkendali," tulis Wisner.
Pesawat Sriwijaya Air SJ 182 jatuh di perairan Kepulauan Seribu. Pesawat yang terbang dari Bandara Soekarno-Hatta menuju Pontianak itu jatuh pada 9 Januari 2021.
Pesawat mengangkut 62 orang termasuk kru pesawat. Setelah 13 hari melakukan pencairan, tim SAR akhirnya menghentikan upaya evakuasi. Hingga 26 Januari lalu Tim DVI Polri sudah berhasil mengidentifikasi 55 jenazah korban.
55 Jenazah itu meliputi laki-laki 27 orang dan perempuan 28 orang. Jenazah korban 42 orang berhasil diidentifikasi melalui DNA dan 13 orang lainnya berhasil diidentifikasi melalui hasil sidik jari jenazah korban.
"Update hari ini, tim berhasil mengidentifikasi dua korban lagi. Dua korban lagi berhasil diidentifikasi pada hari ini," kata Kepala Rumah Sakit (Karumkit) RS Polri Kramat Jati Brigjen Asep Hendradiana saat konferensi pers identifikasi korban Sriwijaya Air SJ 182 di Rumah Sakit Polri Kramat Jati, Jakarta Timur, Senin (26/1/2021).(ddn/ddn)
6. Ini Penyebab Jatuhnya Sriwijaya Air Menurut Kuasa Hukum Keluarga Korban (Kamis, 28 Jan 2021 17:08 WIB)
https://travel.detik.com/travel-news/d-5352287/ini-penyebab-jatuhnya-sriwijaya-air-menurut-kuasa-hukum-keluarga-korban
Dadan Kuswaraharja
Jakarta - Pihak keluarga korban kecelakaan Sriwijaya Air SJ 182 menuntut produsen pesawat yang jatuh tersebut, Boeing Corporation. Kuasa hukum korban menyampaikan dugaan penyebab jatuhnya pesawat itu di Kepulauan Seribu.Mereka menyatakan sebagian pesawat Boeing 737-500 rusak dan sangat berbahaya karena auto throttle mengalami kegagalan fungsi. Hal itu mengakibatkan perbedaan daya yang diberikan ke mesin dan menyebabkan hilangnya kendali.
Selain itu juga membuat mesin-katup pengecekan udara tahap kelima mengalami korosi dan bocor, menyebabkannya macet di posisi terbuka selama penerbangan.
"Ini telah mengakibatkan kompresor macet yang tidak terkendali," demikian keterangan dari firma hukum asal Chicago, AS, Wisner seperti dikutip dari CNNIndonesia.com.
Gugatan pada Boeing sudah disampaikan Wisner pada 25 Januari 2021.
"Gugatan sudah diajukan ke Pengadilan Circuit Cook County, Illinois, kantor pusat Boeing," tulis Wisner.
Pesawat Sriwijaya Air SJ 182 jatuh di perairan Kepulauan Seribu. Pesawat yang terbang dari Bandara Soekarno-Hatta menuju Pontianak itu jatuh pada 9 Januari 2021.
Pesawat mengangkut 62 orang termasuk kru pesawat. Setelah 13 hari melakukan pencairan, timSAR akhirnya menghentikan upaya evakuasi. Hingga 26 Januari lalu Tim DVI Polri sudah berhasil mengidentifikasi 55 jenazah korban.
55 Jenazah itu meliputi laki-laki 27 orang dan perempuan 28 orang. Jenazah korban 42 orang berhasil diidentifikasi melalui DNA dan 13 orang lainnya berhasil diidentifikasi melalui hasil sidik jari jenazah korban.
"Update hari ini, tim berhasil mengidentifikasi dua korban lagi. Dua korban lagi berhasil diidentifikasi pada hari ini," kata Kepala Rumah Sakit (Karumkit) RS Polri Kramat Jati Brigjen Asep Hendradiana saat konferensi pers identifikasi korban Sriwijaya Air SJ 182 di Rumah Sakit Polri Kramat Jati, Jakarta Timur, Senin (26/1/2021). (ddn/wsw)
ANALYSIS :
News Analysis
Gugatan untuk Boeing dilakukan untuk mendapatkan ganti rugi atas korban yang jatuh akibat kesalahan teknologi. Akan tetapi jika sedikit lebih cerdas, gugatan ini layak diperluas kepada seluruh produsen pesawat terbang komersial di seluruh dunia. Karena telah terbukti dalam sekian ribu kasus kecelakaan pesawat terbang, teknologi untuk melindungi penumpang pesawat komersial selalu minim untuk diperhatikan.
Dalam catatan Aviation Safety di Indonesia saja telah terjadi 421 kecelakaan pesawat terbang.
Catatan untuk produsen Boeing yang melakukan pengurangan bahkan penghentian produksi tipe 737, setelah dua Kali kecelakaan fatal menewaskan seluruh penumpangnya di Indonesia Dan Ethiopia dalam jarak kurang dari 10 bulan terakhir (Catatan April 2019).
Sekali lagi harus difahami dengan baik, bahwa kejadian kecelakaan pesawat terbang komersial ini merupakan kejadian yang terjadi ke sekian kali dalam dunia penerbangan komersial. Hal yang seharusnya dianggap aneh, di saat Teknologi pesawat semakin canggih, akan tetapi tetap gagal melindungi keselamatan penumpang yang bahkan telah rela membeli tiket dengan harga mahal.
Bahkan kejadian ini terjadi menimpa pesawat produksi dari Boeing, kampiun dalam pembuatan pesawat komersial.
Ejekan yang menyakitkan hati pernah disampaikan pada saat pesawat buatan Indonesia N250 tipe pembawa barang gagal dan jatuh. Sebuah komedi sandiwara industri buatan yang mengubah Peta pengembangan industri dirgantara nasional. Komedi yang kejam ini menghapus mimpi N 2130 jet komersial yang pernah menjadi sasaran pengembangan industri Nasional 20 tahun yang lalu.Blue print N2130 dibangun berdasarkan studi panjang di pusat Boeing di Amerika Serikat.
Bukan bermaksud mengatakan bahwa sandiwara industri buatan akan dibalas oleh sandiwara industri lain yang lebih kejam, yang dilakukan oleh mekanisme cakra waktu, akan tetapi fokus yang lebih penting lagi adalah adanya kemandegan pada teknologi yang ada di dunia penerbangan global.
Teknologi dunia penerbangan global selama puluhan tahun berkembang pesat, akan tetapi melupakan satu hal yang penting, teknologi penyelamatan penumpang pesawat komersial. Teknologi yang satu ini telah dilupakan selama puluhan tahun perkembangan dunia penerbangan.
Untuk mudahnya bandingkan dengan teknologi penyelamatan penumpang pesawat tempur non komersial. Pesawat jutaan dollar boleh hancur dalam penerbangan, akan tetapi penumpang nya harus bisa selamat.
Apa yang dilakukan oleh otoritas penerbangan global pada saat terjadi kecelakaan pesawat komersial ? Pertama dan utama adalah menemukan black box pesawat. Upaya besar besaran pasca tragedi kecelakaan dilakukan hanya untuk hal sepele, menemukan black box. Sekedar upaya mengalihkan rasa bersalah, kata mereka yang pesimis.
FAA, Amerika hanya meminta dan mengeluarkan perintah larangan terbang. Bukan hal yang terlalu esensial. Menunggu waktu reda saja.
Pada saat peristiwa WTC New York, FAA sempat mengeluarkan beberapa rekomendasi penting yang bagus. Akan tetapi setelah lama berlalu organisasi gaek itu mulai memperlihatkan betapa telah sepuhnya organisasi otoritas penerbangan ini. Reformasi pada organisasi gaek ini harus dilakukan.
Korban terus berjatuhan, tapi semua hanya ribut dengan black box, atau berbagai alasan yang terkait dengan pesawat terbang. Bukankah memang sejak awal telah diketahui semua bahwa teknologi terbang pesawat terbang ini memang penuh dengan lubang kekurangan. Teknologi pesawat terbang adalah teknologi coba-coba yang sebenarnya telah kuno. Tak pernah ada yang berpikir lebih lanjut pada upaya perlindungan penumpang pesawat dan awak kabin. Selalu fokus diarahkan ke pesawat terbang bukan pada spefisik keselamatan penumpang.
Mengapa hanya Boeing tipe 737 yang di grounded. Mengapa bukan semua jenis pesawat ? Apakah memang kelangsungan industri lebih penting dari nyawa penumpang pesawat ? Penumpang pesawat hanya salah satu unsur saja. Tidak terlalu dipikirkan, dibuat nyaman saja, yang penting industri tetap berjalan ? Tidak perlu diperpanjang lagi diskusinya.... Apakah memang karena prinsip kenyamanan tidak selalu identik dengan savety, atau bahkan mungkin dianggap berlawanan. Nyaman akan tetapi tidak safety. Atau safety akan tetapi tidak nyaman
Mencari model Dan teknologi pengamanan penumpang
Kursi pelontar, adalah teknologi konyol yang didisain untuk menyelamatkan penumpang pesawat tempur atau pilotnya. Konyol akan tetapi efektif. Pada saat belum ada solusi lain, maka ide kursi pelontar berhasil menyelamatkan puluhan bahkan ratusan nyawa dari pesawat tempur. Ide konyol kursi pelontar diajukan pertama kalinya pada tahun 1940 an, dan kemudian baru coba direalisasikan pada tahun 1946. Sampai dengan tahun 1975 an Teknologi kursi pelontar ini masih menggunakan prinsip yang sama. Usul model penyelamatan yang konyol akan tetapi ternyata efektif. Usulan teknologi yang kuno ini ternyata masih diteruskan digunakan dalam pesawat tempur yang diproduksi sampai saat ini.
Mengapa teknologi serupa tidak dikembangkan di penerbangan komersial ? Sebuah pertanyaan yang seharusnya mengundang perdebatan teknis dan memunculkan sebuah solusi keselamatan terbaik.
Sekali lagi harus difahami dengan baik, bahwa kejadian kecelakaan pesawat terbang komersial ini merupakan kejadian yang terjadi ke sekian kali dalam dunia penerbangan komersial. Hal yang seharusnya dianggap aneh, di saat Teknologi pesawat semakin canggih, akan tetapi tetap gagal melindungi keselamatan penumpang yang bahkan telah rela membeli tiket dengan harga mahal.
Bahkan kejadian ini terjadi menimpa pesawat produksi dari Boeing, kampiun dalam pembuatan pesawat komersial.
Ejekan yang menyakitkan hati pernah disampaikan pada saat pesawat buatan Indonesia N250 tipe pembawa barang gagal dan jatuh. Sebuah komedi sandiwara industri buatan yang mengubah Peta pengembangan industri dirgantara nasional. Komedi yang kejam ini menghapus mimpi N 2130 jet komersial yang pernah menjadi sasaran pengembangan industri Nasional 20 tahun yang lalu.Blue print N2130 dibangun berdasarkan studi panjang di pusat Boeing di Amerika Serikat.
Bukan bermaksud mengatakan bahwa sandiwara industri buatan akan dibalas oleh sandiwara industri lain yang lebih kejam, yang dilakukan oleh mekanisme cakra waktu, akan tetapi fokus yang lebih penting lagi adalah adanya kemandegan pada teknologi yang ada di dunia penerbangan global.
Teknologi dunia penerbangan global selama puluhan tahun berkembang pesat, akan tetapi melupakan satu hal yang penting, teknologi penyelamatan penumpang pesawat komersial. Teknologi yang satu ini telah dilupakan selama puluhan tahun perkembangan dunia penerbangan.
Untuk mudahnya bandingkan dengan teknologi penyelamatan penumpang pesawat tempur non komersial. Pesawat jutaan dollar boleh hancur dalam penerbangan, akan tetapi penumpang nya harus bisa selamat.
Apa yang dilakukan oleh otoritas penerbangan global pada saat terjadi kecelakaan pesawat komersial ? Pertama dan utama adalah menemukan black box pesawat. Upaya besar besaran pasca tragedi kecelakaan dilakukan hanya untuk hal sepele, menemukan black box. Sekedar upaya mengalihkan rasa bersalah, kata mereka yang pesimis.
FAA, Amerika hanya meminta dan mengeluarkan perintah larangan terbang. Bukan hal yang terlalu esensial. Menunggu waktu reda saja.
Pada saat peristiwa WTC New York, FAA sempat mengeluarkan beberapa rekomendasi penting yang bagus. Akan tetapi setelah lama berlalu organisasi gaek itu mulai memperlihatkan betapa telah sepuhnya organisasi otoritas penerbangan ini. Reformasi pada organisasi gaek ini harus dilakukan.
Korban terus berjatuhan, tapi semua hanya ribut dengan black box, atau berbagai alasan yang terkait dengan pesawat terbang. Bukankah memang sejak awal telah diketahui semua bahwa teknologi terbang pesawat terbang ini memang penuh dengan lubang kekurangan. Teknologi pesawat terbang adalah teknologi coba-coba yang sebenarnya telah kuno. Tak pernah ada yang berpikir lebih lanjut pada upaya perlindungan penumpang pesawat dan awak kabin. Selalu fokus diarahkan ke pesawat terbang bukan pada spefisik keselamatan penumpang.
Mengapa hanya Boeing tipe 737 yang di grounded. Mengapa bukan semua jenis pesawat ? Apakah memang kelangsungan industri lebih penting dari nyawa penumpang pesawat ? Penumpang pesawat hanya salah satu unsur saja. Tidak terlalu dipikirkan, dibuat nyaman saja, yang penting industri tetap berjalan ? Tidak perlu diperpanjang lagi diskusinya.... Apakah memang karena prinsip kenyamanan tidak selalu identik dengan savety, atau bahkan mungkin dianggap berlawanan. Nyaman akan tetapi tidak safety. Atau safety akan tetapi tidak nyaman
Mencari model Dan teknologi pengamanan penumpang
Kursi pelontar, adalah teknologi konyol yang didisain untuk menyelamatkan penumpang pesawat tempur atau pilotnya. Konyol akan tetapi efektif. Pada saat belum ada solusi lain, maka ide kursi pelontar berhasil menyelamatkan puluhan bahkan ratusan nyawa dari pesawat tempur. Ide konyol kursi pelontar diajukan pertama kalinya pada tahun 1940 an, dan kemudian baru coba direalisasikan pada tahun 1946. Sampai dengan tahun 1975 an Teknologi kursi pelontar ini masih menggunakan prinsip yang sama. Usul model penyelamatan yang konyol akan tetapi ternyata efektif. Usulan teknologi yang kuno ini ternyata masih diteruskan digunakan dalam pesawat tempur yang diproduksi sampai saat ini.
Mengapa teknologi serupa tidak dikembangkan di penerbangan komersial ? Sebuah pertanyaan yang seharusnya mengundang perdebatan teknis dan memunculkan sebuah solusi keselamatan terbaik.
Sebuah jaket pelampung di bawah kursi penumpang selalu menjadi andalan seluruh maskapai. Para awak kabin selalu memperagakan penggunaan jaket pelampung pada saat darurat, sebelum pesawat mengudara. Ratusan ribu penerbangan komersial yang dilakukan, selalu diawali dengan peragaan konyol para awak kabin ini dalam memberikan alternatif keselamatan penumpang pesawat komersial.
Mengapa konyol ? Karena asumsi penggunaan jaket pelampung ini adalah asumsi yang berasal dari disain pesawat lama yang kuno yang belum membayangkan adanya teknologi jet yang digunakan oleh mesin pesawat terbang komersial.
Apakah para perancang teknologi keselamatan penerbangan lupa faktor kecepatan pesawat jet ? Jaket pelampung hanya pantas untuk kapal laut atau mungkin untuk alat transportasi balon udara. Apakah tidak lebih baik membicarakan parasut dibandingkan dengan jaket pelampung ?
Campuran antara teknologi kuno dan lobby bisnis perusahaan produsen pelampung pesawat yang tidak ingin kue bisnis pelampung di pesawat komersial nya hilang karena kemudian difahami betapa kuno teknologi keselamatan yang mereka tawarkan kepada penumpang pesawat jet komersial.
Media udara adalah unsur zat tumpuan dari teknologi penerbangan. Media air adalah zat tumpuan untuk jalan teknologi alat transportasi laut. Mungkin parasut lebih pantas dibicarakan dari pada jaket pelampung. Meskipun ide tersebut masih terbilang konyol, akan tetapi tetap konyol yang efektif.
Tapi teknologi sejati keselamatan penumpang pesawat pasti bukan itu. Perlu dilakukan kajian serius lebih lanjut untuk bisa menemukan teknologi yang tepat, lalu menguji nya dan menyerahkan ke seluruh otoritas penerbangan global agar menjadi sebuah standar baru teknologi untuk keselamatan penumpang pesawat terbang. Bukan teknik kuno yang berbasis jaket pelampung yang menggelikan.
Menjadi pertanyaan yang harus dipikirkan dengan serius. Apa beda seorang pilot pesawat tempur dengan penumpang pesawat komersial ? Mengapa pilot pesawat temput diberikan perlengkapan keselamatan yang jauh lebih baik ? Dengan kursi pelontar darurat ? Penumpang pesawat jelas memberikan keuntungan bisnis yang lebih besar bagi para penyelenggara Airline, akan tetapi studi serius pengamanan penumpang pesawat tidak pernah dilakukan dengan serius. Telah berlalu beberapa dekade, akan tetapi tidak pernah ada revisi teknologi untuk penyelamatan penumpang pesawat sipil dalam kondisi darurat. (Vij, Staf Pengajar, Jurusan Avionika, Teknik Penerbangan, PT Di Bandung)
First Published : 09/03/2019.09.02.PM.