(cc) Menemukan Syal Indah di Pasar Seni Seoul (cc)

Satu Windu Di Negeri Gingseng (Tulisan ke-2)

Bersama Dr. Dan Rivanto Budiyanto : Menemukan Syal Indah Di Pasar Seni Seoul

Salah satu pakar hukum muda yang ikut dalam rombongan ke Korea Selatan adalah Dr.Dan Rivanto Budianto, pakar hukum dari Universitas Padjadjaran. Penampilan Dr Dan selalu terlihat rapi, kalem, dan menyenangkan. 

Satu minggu pertama di Korea Selatan, mulai terlihat banyak pejabat Kominfo yang ikut dalam rombongan gelisah. Demikian pula para pakar yang ikut dalam rombongan. Bukan karena apa-apa, akan tetapi karena adanya kendala dalam masalah makanan. Panitia penyambutan yang melayani rombongan Kominfo hanya menyiapkan makanan khas Korea yang mungkin terasa tidak nyaman di lidah kebanyakan orang Indonesia. 

" Setiap hari kita hanya diberi makanan Khimchi terus menerus, gak terasa di perut kita ..." kata salah satu pejabat yang ikut dalam rombongan. 

Setelah sarapan di Hotel dan berangkat melakukan pertemuan di beberapa kota di sekitar Seoul, makan siang dan makan malam biasanya dengan menu Khimchi. Menu seperti ini tidak cocok bagi kebanyakan perut dari anggota rombongan. Dan Rivanto termasuk yang tidak nyaman dengan pola pemberian makanan yang aneh ini.  

"Pak saya tadi melihat di seberang jalan hotel ada Burger K***.. kita bisa coba tambah menu makanan di sana saja Pak.. Kalau bapak berkenan."

Dan Rivanto terlihat tak banyak bicara dan lebih suka berbicara ngobrol dengan saya. Tawaran yang menarik dari Dr.Dan Rivanto ini tidak saya sia-siakan. Sambil jalan-jalan menikmati Kota Seoul di waktu sore. 

" Mari Pak Dan ...sambil kita jalan-jalan sebentar keluar Hotel..."

Burger K*** ada di sisi jalan Seoul yang lumayan padat. Ada proyek pembangunan fly over yang membuat lalu lintas di sekitar lokasi restoran cepat saji Amerika itu menjadi sangat padat. Lumayan ada karbohidrat dari Burger, dan bukan hanya semata-mata makanan sayur ala Khimchi yang itu-itu saja. 

Bagi saya tidak ada masalah, dengan Khimchi. Perut saya tidak terlalu menolak dengan makanan gaya Korea ini. Saya pikir (dengam penuh kelakar), sejak dari lahir selalu makan nasi, apa tidak bosan ? Sesekali selalu makan dengan gaya Khimchi juga tidak masalah. Khimchi, makanan seperti asinan Bogor, mungkin agak terlalu masam untuk perut orang Indonesia.     

Setelah usah berburu burger, Dan Rivanto  mengajak jalan-jalan di sebuah toko buku besar di seberang jalan. Mengasyikkan bisa melihat-lihat toko buku di Seoul. Akan tetapi sayangnya sebagian besar buku yang dijual menggunakan aksara Korea. Sangat jarang buku dengan tulisan latin yang dijual di toko buku besar ini. Saya memutuskan tidak membeli buku, karena percuma membeli buku yang aksaranya tidak mampu saya baca. Dan Rivanto membeli beberapa reverensi buku hukum berbahasa Inggris. Mungkin hanya itu judul buku yang bisa dibaca. Buku referensi Bahasa Inggris yang dibeli merupakan satu dua buku yang ditulis dengan aksara latin.

" Ini buku langka yang saya cari Pak ... Kemarin waktu di Singapura saya mencoba mencari buku ini, tapi tidak mendapatkan, syukur saya bisa mendapatkan buku ini di Seoul."

Setelah mendekati senja, kami segera kembali ke Hotel. Tidak seperti bayangan mereka yang suka mengkritik para pelancong negara yang ke luar negeri. Rombongan kami bekerja sangat keras di Korea Selatan. Hampir tidak ada jam istrirahat. Benar-benar bekerja keras seperti di Jakarta. Mengikuti pertemuan dan rapat dari satu tempat ke tempat yang lain. Mulai dari jam 8 pagi sampai hampir jam 17 petang. Benar-benar gila. Tidak ada kompensasi dari panitia. Setiap bangun pagi, kami selalu diburu waktu oleh panitia. Jangan sampai terlambat, harus berangkat tepat waktu. Budaya dan disiplin tinggi orang-orang Korea ini sangat berbeda dengan gaya santai yang biasa dipakai di Indonesia. 

Mana ada kesempatan jalan-jalan kalau begini. Begitulah yang selalu ada dalam benak Orang Indonesia yang jalan-jalan ke luar negeri. Apalagi dengan ritme disiplin tinggi yang diatur dengan ketat oleh panitia seperti ini. Setelah sore atau malam sampai di hotel, kebanyakan anggota team yang kelelahan langsung tidur, bahkan tidak lagi sempat jalan-jalan. 

Beberapa hari kemudian Dan Rivanto kembali mengajak saya berburu oleh-oleh di pasar Seni Seoul. 

" Pak mari kita keluar ke pasar seni. "

" Jalan-jalan lagi Pak Dan ?

" Kita cari oleh-oleh Pak, untuk keluarga yang ada di Tanah Air, " Kata Dan

" Oleh-oleh apa ya ?" 


Mobil khusus yang disediakan oleh panitia, mengantar beberapa dari kami yang memang ikut acara berjalan-jalan dan belanja di pasar seni Seoul. Tidak semua anggota ikut acara jalan-jalan kali ini. Kebanyakan anggota team sudah kelelahan setelah mengikuti rapat maraton di beberapa lokasi di Seoul dan luar kota Seoul hari ini.   

Dan Rivanto bersama dengan saya berjalan menembus pasar Seni Korea. Berjalan-jalan di tengah pasar seni Korea mengasyikkan juga. Melihat banyak warga Seoul yang berdesakan mencari berbagai kebutuhan mereka. Wah ada yang berjualan kepala babi. Kaget sekali, pertama kali melihat kepala Babi yang dijual terbuka di pasar seni Korea. Saya juga Dan Rivanto yang muslim, memang tidak boleh memakan daging babi. Dan tidak sering melihat kepala babi yang dipajang seperti ini di Indonesia, kecuali di tempat-tempat tertentu.  

" Kita cari sesuatu Pak ... Apa bapak tidak mencari sesuatu yang bagus untuk keluarga ?"

Saya tersenyum melihat Pak Dan yang berjalan-jalan dan melihat-lihat beberapa barang seni yang coba akan dibelinya. 

" Ini pesanan dari rumah Pak ...Yang ini bisa juga digunakan untuk jilbab Pak...." 

Saya melihat ada barang-barang yang bagus di pasar seni ini. Pak Dan mengambil beberapa syal yang bagus. Saya tidak terlalu faham tentang berbagai produk jilbab yang ada di etalase pasar. Rupanya pandai juga Pak Dan menawar, dibantu pemandu yang ikut dalam rombongan kami. Korea Selatan termasuk negara dengan penuturan Bahasa Inggris yang jelek. Karena buruknya penguasaan Bahasa Inggris ini membuat komunikasi kita dengan banyak orang Korea lebih terasa lancar. Sama-sama buruk dalam penguasaan Bahasa Inggris,malah bisa membuat komunikasi dengan lebih baik. 

"Ini Syal bagus Pak, saya recommen untuk bapak ini saja Pak untuk oleh-oleh."

Saya tersenyum melihat pilihan yang dilakukan oleh Pak Dan untuk saya. Saya tidak begitu memahami trend mode, apalagi syal yang bagus. Saya pilih yang warna biru tua, dan dengan mempertimbangkan usulan dari Pak Dan. Saya menjadi tersenyum sendiri mengingat betapa kakunya saya memilih barang-barang seni. Apalagi memilih syal. (VIJ).    

(.... bersambung)




Catatan Sang Penjelajah

Indeks Berita
 
 
Lihat Juga :